Oleh Agnes Rita Sulistyawaty
Dua hari ini Yudi (38) kelabakan berangkat kerja. Kereta rel listrik yang melintas di Stasiun Cilebut selalu sesak, belakangan lebih padat dibandingkan hari-hari biasa. Untuk naik ke kereta saja tidak mungkin. Senin lalu, Yudi memilih tidak masuk kerja lantaran tidak kebagian ruang berdiri di kereta.
Sejak pukul 06.00, saya tunggu kereta, tapi kereta yang lewat sangat penuh. Bisa saja saya naik, tapi ada risiko jatuh. Daripada jatuh, saya pilih pulang saja sekitar pukul 07.00 karena belum dapat kereta,” tutur Yudi yang masuk kerja pukul 07.00.
Kondisi ini terjadi lantaran 43 perjalanan kereta rel listrik (KRL) di Jabodetabek dibatalkan. Pembatalan perjalanan kereta itu diputuskan menyusul rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI) menarik kereta api—baik KRL maupun lokomotif—yang sudah tidak laik jalan untuk diperbaiki.
Selasa, Yudi—yang mengantongi upah Rp 41.000 per hari— memilih naik bus setelah mendengar pengumuman, sejumlah KRL tidak diberangkatkan. Namun, karena perjalanan dengan bus tidak secepat KRL, Yudi terlambat 45 menit di tempat kerja.
Berebut kereta juga dialami Susi. Beruntung Susi naik kereta dari Stasiun Bogor atau stasiun paling awal di jalur Bogor-Jakarta. Biasanya, penumpang memang berjejal di dalam kereta. Namun, dua hari terakhir kepadatan penumpang melebihi hari biasanya. ”Untuk bernapas saja susah,” ucap Susi yang bekerja sebagai buruh di kawasan Juanda, Jakarta Pusat.
Tiket KRL yang relatif terjangkau—Rp 1.500-Rp 11.000 sekali jalan—membuat moda transportasi ini banyak diburu orang. Apalagi KRL terhindar dari kemacetan di jalan raya sehingga waktu tempuh relatif cepat. Dari Bogor hingga Gambir, misalnya, dibutuhkan waktu sekitar satu jam saja. Tidak heran apabila banyak warga yang memanfaatkan moda transportasi ini untuk mengantarkan dari sekitar rumah hingga ke lokasi kerja.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo adalah salah satu pelanggan KRL. Ia biasa menumpang kereta dari Stasiun Bojong Gede ke Stasiun Duren Tiga. ”Sebenarnya KRL merupakan transportasi publik yang paling baik dibandingkan transportasi publik lain kendati semua transportasi publik belum memberikan kenyamanan bagi penggunanya,” ucap Sudaryatmo.
Sama seperti Yudi dan Susi, dua hari terakhir Sudaryatmo juga merasakan sulitnya naik KRL lantaran padatnya penumpang. Sebelum perbaikan ini, tidak semua KRL yang ada beroperasi. Dari 386 KRL yang tersedia, hanya sekitar 340 unit yang beroperasi. Puluhan kereta lain sudah tua dan kerap rusak.
Penambahan kereta tidak sebanding dengan pertumbuhan penumpang. Dalam rencana bisnis PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ)—anak perusahaan PT KAI—2009-2013, ada rencana membeli 88 KRL bekas. Sementara tahun 2013 diperkirakan jumlah penumpang yang kini sekitar 500.000 orang per hari bakal mencapai 1,49 juta orang per hari.
Perbaikan bertahap
Kepala Humas PT KAI Daerah Operasi I Jabodetabek Mateta Rijalulhaq mengatakan, perbaikan KRL dilakukan bertahap. ”Kalau kerusakan tidak parah, kereta bisa beroperasi lagi. Akan tetapi, kalau kereta rusak parah, waktu perawatan bisa lama, bahkan kereta itu tidak bisa lagi beroperasi,” papar Mateta.
Ia belum bisa memastikan waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan semua kereta.
Sekretaris Perusahaan PT KCJ Makmur Syaheran mengatakan, pihaknya meminta petugas di stasiun agar terus mengumumkan perjalanan kereta yang dibatalkan. Dengan begitu, calon penumpang bisa memilih moda transportasi lain apabila merasa terganggu dengan pembatalan perjalanan kereta api ini.
Dokter Sofyan, pengguna jasa KRL, menyayangkan pembatalan keberangkatan karena mengganggu aktivitas warga. Menurut dia, jika sarana KRL diperbaiki, hal itu bisa dapat mengurangi kemacetan di jalan.
”Persoalan KRL sering saya dengar. Tidak hanya pembatalan keberangkatan, tetapi juga sinyal yang hilang, mogok, atau persoalan lain,” katanya.
Sudaryatmo pun menyesalkan pembatalan perjalanan KRL. Mestinya jadwal KRL disusun memperhitungkan masa perawatan dan perbaikan kereta. Apalagi jadwal itu dibuat PT KAI, bukan konsumen. ”Pembatalan sepihak melanggar hak konsumen,” katanya.
Kekacauan perjalanan KRL ini menunjukkan masalah di level operator dan regulator perkeretaapian Indonesia. Di tingkat regulator, tidak ada dukungan terhadap perkeretaapian sebagai transportasi massal publik.
Peneliti transportasi dari Universitas Indonesia, Jachrizal, memahami keputusan direksi PT KAI membatalkan 43 perjalanan demi keamanan penumpang. Namun, katanya, keputusan itu membuat kepentingan masyarakat kalah.
Persoalan ini merupakan bagian dari sederet persoalan. Adapun persoalan mendasar perkeretaapian adalah perbaikan manajemen, seperti pengelolaan rel dan kereta. Dua hal ini dikelola manajemen berbeda.
Hal ini memprihatinkan, apalagi menjelang pemerintah membatasi penjualan bahan bakar minyak bersubsidi di Pulau Jawa mulai Maret 2011. Perbaikan transportasi publik merupakan salah satu agenda besar yang harus segera diperbaiki. Transportasi yang baik akan mendorong pengguna kendaraan pribadi memilih moda transportasi publik karena alasan kepraktisan, yakni mudah, lebih irit, dan tepat waktu.
Namun, jika pembangunan transportasi publik tak juga terwujud, bukan tak mungkin pemerintah menuai persoalan yang jauh lebih pelik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar